Bab 106
Bab 106
Bab 106
Timothy juga tercengang saat Jacob menarik kerah bajunya.
“Jacob, kamu bertanya padaku, lalu saya harus bertanya pada siapa?” Timothy diam sejenak sebelum melanjutkan : “Meskipun saya tidak tahu alasannya, tapi saya percaya pada bos, dan dia pasti mempunyai alasan sendiri.”
“Alasan apa?” tatapan mata Jacob menyiratkan kemarahan : “Ada alasan apa di dunia ini yang jauh lebih penting daripada nyawanya sendiri?”
Timothy cemberut dan menatap Jacob dengan pasrah.
Dia juga mengkhawatirkan Samara.
Namun dibandingkan dengan Jacob, itu bukan apa–apa.
Dan saat Timothy tidak tahu bagaimana cara untuk menghibur Jacob, ponselnya berdering.
| Saat
“Halo.”
“Timothy, ini saya.”
Suara Samara terdengar dari balik telepon, Timothy tiba–tiba merasakan kelegaan yang teramat mendalam.
“Bos, bagaimana keadaanmu?”
“Hanya sedikit terluka.” Samara tersenyum : “Tidak akan mati.”
“Saya hanya.....”
Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, ponsel Timothy sudah direbut oleh Jacob yang ada disampingnya.
“Bagaimana seorang wanita boleh terus–menerus mengeluarkan kata ‘mati‘ dengan begitu mudah?”
Mendengar suara Jacob, Samara tidak bisa menahan tawanya : “Dasar adik kurang ajar, kamu semakin lama semakin kurang ajar ya, begini caramu berbicara dengan kakakmu ini?”
Dia dan Jacob tumbuh besar di kampung yang sama.
Jacob berusia 2 tahun lebih muda darinya, dan sudah mengikutinya seperti anak bebek sejak dulu.
Saat Jacob kecil, tubuhnya tidak setinggi besar seperti saat ini, dan selalu dianiaya oleh anak–anak lain, Samaralah yang selalu mengambil batu untuk melempari anak–anak yang menganiaya Jacob.
Hanya saja.....
Seperti Samara yang memiliki identitas scorang Nona Muda dari keluarga Wijaya, identitas Jacob bahkan lebih hebat lagi.
Dia adalah cucu luar dari Harvey Putra yang berasal dari kalangan politikus dan militer, dia adalah satu– satunya penerus keluarga Putra, identitasnya jelas sangat dihormati.
“Siapa yang mau menjadi adikmu?” Jacob menggerutu.
“Kalau tidak mau menjadi adikku, saya akan menutup teleponnya.”
“Kamu.....”
“Sudah, jangan marah lagi, saya menelpon kalian untuk memberitahukan keadaanku.” Samara mengedipkan matanya dan berkata : “Saya niemang terluka, tapi tidak berat. Setelah saya memulihkan lukaku, saya akan menemuimu untuk bernostalgia.”
Jacob mendengus pasrah menghadapi Samara, dia hanya bisa mengiyakan.
“Pintar––”
Setelah menutup telepon, Samara masih tersenyum.
Dia teringat bocah ingusan imut yang selalu mengikutinya di belakang sambil memanggilnya kakak, sekarang sudah berubah menjadi seorang Kolonel termuda di militer.
Dia memiliki perasaan bagaikan seorang ibu yang bangga melihat anaknya tumbuh dengan berhasil.
Pada saat itu.
Asta membuka pintu kamar pasien dan melangkah masuk, lalu menjumpai Samara yang memegang ponselnya sambil tersenyum–senyum.
“Siapa yang menelponmu?” Asta sengaja bertanya padanya : “Pria atau wanita?”
“Pria.”
Asta langsung melangkah menghampiri dan mendorong Samara ke bawah.
“Pria?”
Dalam hati Samara, dia memang sengaja bertentangan dengan Asta.
“Pria.” mata coklat Samara melebar dan menatap lurus pada Asta : “Dia dan saya adalah kekasih masa kecil.”
Kekasih masa kecil?
Samara juga tidak termasuk sedang beromong kosong.
Hanya saja, dia selalu menganggap Jacob seperti dik laki–lakinya saja.
Asta menatap Samara yang ada di hadapannya.
Samara yang mengetahui perasaan Asta terhadap dirinya sedang bermain api dengannya.
“Samara, kamu ini benar–benar tidak memperdulikan orang lain ya.”
Samara merasakan kekejaman dalam mata Asta, tapi saat ini dia tidak bisa menundukkan kepalanya.
“Asta, kamu juga tidak berbeda.” Content bel0ngs to Nôvel(D)r/a/ma.Org.
Asta ingin segera mengeluarkan hatinya dan memperlihatkan kepadanya, tapi Samara hanya terus waspada dan waspada terhadapnya.
Wajahnya palsu.
Identitasnya juga palsu.
Semuanya palsu.
Kemarahan yang dirasakan dalam hatinya sudah mencapai puncak, Asta mengigit bibir Samara dengan ganas.
Samara yang merasakan rasa sakit di bibirnya menatap Asta dengan tidak percaya : “Asta, kamu ini binatang buas ya? Saya ini masih terluka!”