Chapter 10
Chapter 10
BAB 10 I Sean Reviano
Reviano menatap layar ponsel berisikan teks dari orang tuanya yang menanyakan kapan dia akan pulang. Sejenak dia memandang karyawan yang sedang rapat bersama di ruang meeting. Dia memasukan kembali ponsel itu dan melirik ke arah Via yang sedang menyelipkan rambut panjangnya ke balik telinga.
Mata Sean tidak bisa lepas memandangi wajah rupawan Via yang menunduk membaca laporan, tetapi logikanya menang selangkah hingga dia lega dapat memalingkan wajah.
Sedikit berdehem, Sean mengumpulkan perhatian; “Sampai dimana kita tadi?”
“Laporan rating dan review hotel kita di platform booking room, Pak. Saya rasa ….”
Rapat kembali berlanjut, tetapi mata Sean tidak bisa menjeda pandang dari Via yang menjelaskan tentang laporan review Hotel Luna Star yang sedikit menurun dari bulan sebelumnya.
Di tengah sesi Sean mendapati Via yang melamun. Agar terlihat profesioanl tidak pilih kasih, Sean pun menegur.
“Via?” panggil Sean saat gadis itu mulai hilang fokus. “Viania Harper!” panggilnya lagi. Hingga paggilan ke tiga, gadis itu tetap tidak mengangkat wajah membuat Sean sedikit khawatir. Dengan wajah tenang seperti biasa, Sean memanggil Via terakhir kali karena dia tidak nyaman ketika mulai terdengar suara berbisik dari sekitar. “Via!”
Gadis itu tersentak, jelas terkaget karena tidak mendengarkan. Dia tertunduk malu, yang membuat Sean merasa sedikit bersalah.
“Via, dari tadi aku memanggilmu. Apa kau sakit?”
“Sejak tadi siang saya merasa kurang enak badan,” jawab gadis itu terlihat segan dan melanjutkan, “Maaf, sudah mengganggu konsentrasi Anda.”
Dengan keberadaan Via saja sudah cukup membuat Sean hilang konsentrasi, tetapi tentu dia tidak akan menjawab demikian.
“Tidak-tidak, jika memang sudah tidak kuat mengikuti rapat kamu bisa beristirahat.”
“Seperti sebelum-sebelumnya, mintalah izin jika merasa kurang sehat sebelum rapat dimulai.” Kini dia merasa khawatir walau Via berkata sebaliknya. Ekor mata Sean terus mengawasi Via yang tetap mengikuti rapat sembari dia membuka dokumen yang baru dijelaskan tadi. “Kembali ke rapat, aku ingin kita meningkatkan pelayanan Luna Star dan ….”
…………………………………………………………
Daren baru saja masuk ke dalam ruang kerja Sean di Luna Star. Sahabatnya itu mendekat sembari membawa tumpukan dokumen.
“Aku mendengar dari bibi kau akan pulang ke Blueberry Hill,” ujar Daren begitu menaruh tumpukan dokumen ke atas meja.
Sean terlihat enggan menjelaskan, namun pada akhirnya dia mengangguk saja.
“Ibu memintaku untuk pulang,” katanya. “Aku hanya sebentar di Blueberry, setelahnya aku akan ke Michigan untuk menyelesaikan proyek yang ayah beri dua tahun lalu.”
Wajah Daren tampak tertarik untuk ikut bergabung.
“Aku juga ingin ikut serta.”
Satu tatapan tajam dari Sean mampu membungkam mulut Daren yang tidak ada rem.
“Kau pikir aku mau mengerjakan proyek itu? Luna Star saja masih butuh bimbingan, ayah malah ingin membangun hotel baru di Michigan. Sudah kujelaskan untuk menunda dulu sampai Luna Star stabil, dia menolak mentah-mentah. Benar-benar keras kepala,” sungut Sean sembari membaca dokumen yang dibawa Daren satu per satu.
“Bukannya itu proyek taman bermain?” Kini Daren dibuat bingung dengan perubahan rencana. “Sejak kapan berubah menjadi hotel?” Belonging © NôvelDram/a.Org.
Sean menutup dokumen yang dia baca dan menatap Daren kembali.
“Sejak Nicko Anderson mengumumkan akan membangun taman bermain tidak jauh dari lokasi taman bermain yang ayah rencanakan.”
Kali ini Sean tidak bisa menutupi rasa kesalnya. Wajah tenangnya yang biasa berubah keruh.
“Ya ampun, kau bisa membangun di tempat yang baru.”
“Tidak semudah itu, melakukan riset ulang hanya akan menambah biaya saja. Ditambah lagi aku tidak ingin berurusan dengan mafia.”
Mengingat bahwa Nicko Anderson bagian dari mafia Italia tentu bukanlah hal mudah, dan Sean tahu konsekuensinya bila berhadapan dengan orang-orang seperti mereka.
“Aku lapar, ayo kita makan keluar,” rengek Daren yang membuat Sean sakit kepala.
Sean meletak kembali dokumen yang nyaris dia tanda tangani, namun mengingat Daren yang rewel lebih menyebalkan dibanding menyelesaikan tumpukan dokumen itu, maka dia memutuskan untuk makan siang sebelum waktunya.
…………………………………………………….
“Kemana kau membawaku?” tanya Sean begitu mereka tiba di dekat pusat perbelanjaan.
“Toko roti favoritku, beberapa waktu lalu kau memakasa untuk diajak ke sini. Apa kau lupa?”
Mendengar kata toko roti, Sean pun keluar lebih dulu, membuat Daren terkekeh. Dia tidak mengerti mengapa sahabatnya suka sekali mengunjungi setiap toko roti di kota itu.
Lebih dulu Sean sampai di dalam toko tersebut, dia memerhatikan sekitar dengan seksama, layaknya tim penilai yang memerhatikan tiap detail bangunan.
“Hey, kita ke sini untuk membeli bukan menyelediki lubang di setiap dinding,” bisik Daren saat mereka dipelototi pria penjaga etalase.
Seakan tidak peduli, Sean mengedikan bahu sembari melanjutkan penilaian semula. Dia bahkan memerhatikan dengan rinci setiap menu yang dipajang. Melemparkan banyak pertanyaan tentang bahan dasar kue-kue di sana, membuat Daren merasa tidak enak hati dengan si penjaga.
“Kau mau beli atau sedang merancang bisnis baru?” Bagi Daren pertanyaan terakhir lebih masuk akal.
“Menurutmu berapa persentase keberhasilan bisnis toko roti sebesar ini?” tanya Sean tiba-tiba, Daren hendak menjawab saat Sean menjawab sendiri pertanyaan barusan. “Kurasa cukup menguntungkan dengan eksposur yang tepat. Lagi pula, dia juga tidak peduli dagangannya laku atau tidak.”
Kali ini Daren yang dibuat bingung.
“Siapa?”
Sean mengibas tangan ke udara, mengabaikan pertanyaan barusan lalu tanpa dosa memesan banyak kue yang terpajang di etalase. Nyaris keseluruhan sebagai sampel.
“Bilang saja kau tidak mau bercerita, jangan mengibaskan tanganmu dengan tidak sopan,” dengus Daren sembari memukul tangan Sean yang masih di udara.
Dengan tersenyum puas, Sean menatap Daren sembari menenteng belanjaan.
“Beritahu aku bila kau temukan toko yang baru,” katanya sambil berlalu meninggalkan Daren yang belum memesan apa pun.
……………………………………………………
Satu per satu Sean membalas pesan dari ibunya. Dia mengabari kapan akan tiba di Blueberry Hill.
Saat hendak keluar ruangan, ponselnya berbunyi. Dia mengira ibunya memanggil, tanpa melihat caller Id, Sean mengangkat panggilan tersebut.
“Halo,” sapanya.
“Halo, Sean. Ini aku Eve. Aku dengar dari bibi kau akan pulang, kenapa tidak mengabari?” tanya Evelyn dengan suara manja seperti biasa.
Sean tertawa mendengarnya dan mengurungkan niat keluar dari ruangan.
“Maaf, kupikir kau sangat sibuk. Dua hari lagi aku akan pulang, kita bertemu di sana saja. Saat ini aku sangat sibuk Eve,” jelas Sean tidak ingin membuat bawahannya menunggu di ruang rapat. Dia melihat arloji yang menunjukan jadwal rapat segera dimulai. “Akan kuhubungi bila ada waktu,” tawar Sean yang disambut Evelyn dengan tidak terima.
“Apa tidak bisa menyuruh mereka menunggu? Rasanya lama sekali kita tidak berbicara,” sungut gadis itu dari seberang.
“Tidak bisa, Eve. Hargai waktu mereka, aku tidak bisa seenaknya membatalkan rapat hanya karena kau ingin berbicara.” Walau terdengar kasar, tetapi Sean tidak ingin Evelyn menjadi terbiasa.
Dari nada suara gadis itu, Sean dapat mendengarnya saat cemberut.
“Baiklah-baiklah CEO yang pengertian. Telepon aku saat kau ada waktu.”
Sean tertawa mendengar kelakar tersebut. Dia menyetujui sebelum akhirnya memutus sambungan.
Baru saja Sean membuka pintu saat sekretaris pribadinya tiba-tiba memanggil dengan suara ceria yang membuat Sean mengernyitkan dahi.
“Pak, ada paket yang baru saja datang!” seru wanita itu sembari berlari-lari kecil dengan sepatu hak tinggi yang membuat bising saat berbentur lantai.
Wajah Sean berubah sumringah ketika dia ingat cincin berlian pesanannya yang tiba hari ini. Tangannya cepat mengambil paket tersebut dari genggaman Altha yang terulur.
“Terima kasih,” ujarnya dengan senyum merekah sempurna, tanpa sadar membuat wanita di hadapannya terperangah dengan mata membulat.
Tidak sabar, Sean pun membuka kotak tersebut dan melihat cincin berlian yang dia design sendiri telah berwujud. Begitu elegan persis seperti
yang dia bayangkan, bahkan jauh lebih sempurna dari gambar yang dia lukis. Langkahnya begitu ringan ketika menuju ruang rapat, sekali pun
senyum tidak pudar mengukir wajah Sean yang rupawan hanya karena sebuah cincin dalam saku celana.
Next Chapter